Suluk di Beranda Senja

     

    Di sebuah dusun bernama Langkaran, yang tersembunyi di peluk bukit dan dibingkai rimbun pohon gaharu, tinggal seorang lelaki tua bernama Rakasana. Usianya telah renta, punggungnya melengkung seperti bulan sabit di musim gugur, namun pandangannya masih tajam, menembus lapisan dunia yang tak kasat mata.

    Rakasana bukan orang biasa. Ia dikenal sebagai penyimpan suwung—penjaga kekosongan batin yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa-jiwa yang terlatih menyimak sunyi. Setiap hari ia duduk di beranda kayu rumah panggungnya, menghadap ke lembah yang bermandi cahaya sore, menggenggam seruling bambu yang tak pernah ditiupkan.

    Orang-orang di dusun menyangka Rakasana telah kehilangan kewarasan sejak kematian istrinya dua puluh tahun silam. Mereka menyebutnya “pendeta tanpa altar”, karena ia lebih sering berkhotbah pada angin daripada pada manusia. Tapi mereka tak tahu: dalam tiap renungnya, ia sedang menulis suluk, perjalanan batin yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan.

    Hingga suatu sore, datanglah seorang perempuan muda dari kota. Namanya Gayatri, seorang mahasiswa jurusan etnomusikologi yang sedang menyusun tesis tentang musik-musik minor di pedalaman Jawa. Ia mendengar kabar tentang seruling Rakasana yang tak pernah dibunyikan—dan merasa terpanggil untuk memahami maknanya.

    “Apa boleh saya mewawancarai Bapak?” Gayatri bertanya dengan sopan, membawa buku catatan dan pena yang belum disentuh.

    Rakasana menatapnya lama. Ia tak menjawab. Hanya membelai tubuh seruling bambu di tangannya dengan jari-jemari yang kurus dan berurat.

    “Kenapa kau tertarik pada alat musik yang tak pernah berbunyi?” Rakasana bertanya balik, mengerutkan kening.

    Gayatri tersenyum, agak gugup. “Karena... barangkali di situlah makna paling dalam dari bunyi. Yang tak terdengar, tapi terasa.”

    Rakasana mengangguk pelan. “Kau bukan sekadar pengumpul data, rupanya. Kau pencari makna.”

    Sejak saat itu, Gayatri datang setiap sore. Ia tak banyak bertanya lagi. Ia hanya duduk, mencatat diam, dan sesekali merekam angin yang berdesir di antara buluh-buluh bambu. Ia mulai memahami bahwa kehadiran kadang lebih penting daripada kata-kata.

    Rakasana pun, untuk pertama kalinya dalam dua dekade, merasa ditemani. Ia mulai bercerita, bukan lewat pidato, tapi lewat potongan-potongan kalimat yang disampaikan seperti peribahasa yang belum selesai:

    “Musik sejati adalah napas daun saat gugur.”

    “Lagu paling agung hanya bisa didengar oleh hati yang kehilangan.”

    “Cinta bukan tentang suara yang kau dengar, tapi resonansi yang tinggal.”

    Gayatri menuliskan semuanya. Tapi semakin ia menulis, semakin ia merasa bahwa kata-kata itu tak bisa ditangkap dalam bentuk akademik. Tesisnya menjadi lebih personal, lebih lirih, lebih menyerupai doa daripada teori.

    Suatu senja, ketika lembah diselimuti kabut jingga yang menari pelan, Rakasana menyerahkan seruling bambunya pada Gayatri.

    “Tiuplah..."

    Gayatri menolak halus. “Seruling ini bukan milikku.”

    “Tapi sekarang... ia adalah milik waktu. Dan waktu memintamu menjaga sunyinya.”

    Dengan tangan gemetar, Gayatri menempelkan bibirnya ke ujung seruling. Ia tiup perlahan. Dan dari rongga bambu itu, keluar satu nada—lembut, nyaris tak terdengar—namun menggema seperti kenangan yang lama terpendam.

    Rakasana menutup mata. Air matanya jatuh satu tetes.

    “Sulukku selesai,” bisiknya. “Dan kau telah membunyikan sunyi.”

    Esok paginya, Rakasana ditemukan meninggal dalam duduknya, wajahnya tenang, seperti orang yang baru saja menyelesaikan puisi terakhir dalam hidupnya.

    Gayatri membawa pulang seruling itu, bukan sebagai artefak, tapi sebagai warisan jiwa. Ia tak lagi menulis tesis. Ia menulis puisi, satu setiap sore, di beranda rumahnya sendiri di kota, sambil meniup seruling yang hanya ia bunyikan sekali setiap purnama.

    Karena ia tahu, ada suara yang lahir bukan untuk didengar, tapi untuk dikenang.



Komentar