Prolog
Hamparan rumput terlihat sejauh mata memandang.
Matahari senja seperti tak sengaja tersangkut di lereng
bukit, mulai menggelinding pelan-pelan. Pucuk-pucuk kanopi hutan. Langit
terlihat jingga, gumpalan awan putih kemerah-merahan.
Rumah-rumah panggung terlihat hidup. Dengan atap genteng
yang kuat melindungi rumah, jendela terbuka mengeluarkan asap masakan yang
lezat, daun pintu terbuka lebar, dan dinding papan yang kokoh berdiri sebagai
penyanggah.
Dari salah satu rumah, seorang wanita memanggil
anak-anaknya.
“Marsha,
Kathrina, pulang dulu yuk. Mama punya sesuatu buat kalian berdua.”
Terlihat di padang rumput luas itu, dua orang anak
perempuan sedang bermain kejar-kajaran. Mereka tertawa di sana, bergulingan di
atas hamparan rumput, sangat menggemaskan. Mendengar ibunya memanggil, kedua
anak perempuan itu berlari menghampiri ibunya yang sedang tersenyum berdiri di
depan rumah. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk ditinggali mereka
bertiga.
“Mama punya sesuatu? Mau... mau....” Marsha, si anak
pertama, lebih dulu sampai di hadapan ibunya. Matanya sedikit berbinar penuh
harap. Dengan pipi yang tembam dan rambut yang terurai sampai bahu, membuat
siapapun yang melihatnya selalu ingin mencubit pipinya.
“Kathrin juga mau, Kathrin juga mau.” Yang satunya
bernama Kathrina. Anak bungsu. Tidak kalah menggemaskan dibanding kakaknya.
Dengan mata yang bulat, mengerjap-ngerjap menatap mamanya.
Wanita itu bernama Indah. Seorang wanita cantik yang
dikagumi banyak orang. Kini dia harus mengurus dua orang anak sendirian,
setelah kehilangan suaminya dua tahun lalu, sejak Kathrina masih dalam buaian.
Terdapat lahan seluas satu hektar yang ditinggalkan suaminya. Di sana tumbuh
berbagai buah-buahan dan sayuran. Kebun itu sangat subur, terawat dengan sangat
baik. Indah sangat serius mengurus kebun milik suaminya. Menurutnya, kebun ini
sangat berharga, karena di sana adalah satu-satunya sumber makanan mereka.
“Mama punya sesuatu untuk kalian, tapi ada syaratnya.”
Indah tersenyum, jari telunjuknya terangkat. “Syaratnya yaitu kalian harus
pulang sekarang, jangan main diluar. Matahari sudah mau terbenam, jadi kalian
masuk kedalam, membersihkan badan, dan kalian akan dapat sesuatu dari mama.
Okey?”
“Okey.” Marsha dan Kathrina berseru bersamaan. Lantas
berlari ke dalam rumah.
“Bagus, anak mama memang pintar.”
Selesai membersihkan badan, mereka berlari ke dapur.
Disana Indah telah menunggu, dengan hidangan kue yang lezat, asapnya mengepul
memenuhi langit-langit dapur. Marsha dan Kathrina selalu menantikan momen ini
setiap harinya, saat mereka telah siap untuk menyantap kue terfavorit buatan
mama. Kue yang dibuat khusus untuk mereka berdua.
“Kalian duduk dulu, sayang. Jangan ada yang menyentuh
makanan, sebelum semuanya terhidang di meja makan.” Indah menunjuk meja makan.
Disana sudah terhidang aneka jenis kue kesukaan mereka berdua.
“Kenapa? Kathrin udah laper.” Kathrina sedikit protes.
Dia sudah tidak sabar. Berjalan ke arah meja makan, melompat naik ke atas
kursi.
“Kamu harus sabar, Tin. Mungkin mama sedang membuat
sebuah kejutan.” Di belakangnya, Marsha menimpali. Ikut duduk.
“Betul, mama sedang membuat kejuatan untuk kalian. Jadi
sabar, ya, sebentar lagi siap.”
TING!
Oven berdenting. Pertanda makanan telah matang. Dengan
tangkas, Indah mengambil sarung tangan, memakainya. Lalu perlahan membuka oven.
Asap mengepul kemana-mana, keluar dari pintu oven bagaikan air bah. Asapnya
semakin menyebar, hingga sampai di hidung Marsha dan Kathrina. Aroma lezat dari
sana tercium pekat. Perpaduan lelehan keju dan saus tomat membuat aroma itu
semakin mewah. Ditambah aroma roti panggang yang khas.
Marsha dan Kathrina di meja makan seperti melayang. Tidak
pernah sepanjang hidup mereka mencium aroma selezat ini.
“Baik, anak-anak. Makanan paling istimewa telah siap.”
Indah menaruhnya di atas meja, bersama berbagai jenis kue yang telah terhidang
sepuluh menit yang lalu. Beberapa diantaranya sudah dingin.
Makanan itu adalah yang paling besar. Bulat, dengan
berbagai macam topping di atasnya. Semuanya tampak meleleh, kecuali beberapa
sayuran, sosis, dan daging. Hidangan ini terlihat mewah sekali. Bahkan
bentuknya lebih unik daripada aneka jenis kue di sampingnya.
“Wahhh....” Marsha dan Kathrina terpukau. Mata mereka
membesar. Sampai-sampai berdiri di atas kursi untuk melihat lebih jelas.
“Kue apa ini, Mama?” Marsha bertanya lebih dulu.
Kelihatannya dia yang paling tertarik.
“Ini adalah Pizza. Makanan khas Italia yang terdiri dari
adonan roti yang dipanggang bersama berbagai macam topping.”
“Pizza?”
“Iya, sayang.”
Indah mengambil sebuah pisau. Lantas memotong pizza itu.
Satu potongan horizontal dan satu potongan vertikal. Pizza telah terbagi
menjadi empat potongan. Marsha dan Kathrina memerhatikan tangan ibunya. Mata
mereka mengikuti arah pisau.
Dengan cepat, tangan Marhsa menyambar salah satu potongan
pizza, disusul oleh Kathrina. mereka sudah tidak sabar untuk menyantapnya.
Ketika mereka menggigit sepotong pizza yang masih hangat itu, sensasi kelezatan
langsung menyebar di lidah mereka. Adonan yang lembut di bagian dalam namun
renyah di tepinya seolah menyapa dengan kehangatan yang nyaman. Keju mozarela
yang meleleh, masih panas dan lengket, memberikan rasa gurih yang kaya dan membalut
seluruh permukaan gigitan. Saus tomat yang segar dan sedikit manis manyatu
sempurna dengan aroma yang khas, menciptakan harmoni rasa yang memanjakan indra
pengecap.
Topping daging yang empuk dan berlimpah menambah dimensi
rasa yang menggugah selera, sementara potongan paprika dan jamur memberikan
sedikit rasa manis dan tekstur renyah yang menyegarkan. Setiap komponen pizza
ini seolah bercerita, membawa mereka ke suatu tempat yang jauh di Italia, di
mana aroma basil dan aregano mengisi udara dan membuat siapa pun yang
menciumnya merasa hangat dan diterima.
Di tengah keheningan malam itu, setiap gigitan pizza
menjadi perjalanan kecil yang penuh dengan kenikmatan, seolah pizza itu bukan
sekedar makanan, tetapi sebuah karya seni yang hidup dan bernapas, menggugah
kehangatan masa kecil yang penuh dengan kasih sayang.
“Enak sekali, Mama!” Marsha berseru dengan mata berbinar.
Keju mozarela leleh dan saus tomat yang segar meledak di mulutnya.
Indah duduk di depan mereka, memperhatikan dengan senyum
lembut. Setiap gigitan yang diambil oleh anak-anaknya seolah menjadi
kebahagiaan kecil yang memancar di wajah mereka. Dalam kehangatan malam itu,
mereka menikmati pizza bersama-sama, bercerita tentang hari-hari mereka yang
bahagia.
“Mama, kenapa pizza ini enak sekali?” Kathrina bertanya
dengan polos. Sambil melahap potongan pizza di tangannya.
Indah tersenyum, mengusap lembut rambut anaknya. “Karena
pizza ini dibuat dengan cinta, sayang. Cinta membuat segala sesuatu menjadi
lebih baik.”
Malam semakin larut. Setelah menghabiskan pizza dan aneka
kue, Marsha dan Kathrina mulai merasa kantuk. Indah membersihkan sisa-sisa
makanan, sementara kedua Putrinya mulai menguap, berusaha melawan kantuk yang
datang. Indah membawa mereka ke kamar, membacakan dongeng pendek sebelum tidur.
Suara lembutnya mengalun seperti lagu nina bobo yang menenagkan.
“Pada suatu hari di negeri yang jauh, hiduplah seorang
Putri bernama Shani. Putri Shani tinggal di sebuah istana yang megah di tengah
hutan yang lebat. Ia dikenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga
kerena hatinya yang penuh kasih sayang terhadap semua makhluk di kerajaannya.
“Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di hutan, Putri
Shani menemukan sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik semak-semak tebal.
Pintu itu terlihat tua dan berdebu, seolah-olah sudah lama tidak dibuka. Dengan
hati-hati, Putri Shani membuka pintu tersebut dan menemukan sebuah jalan
rahasia yang membawa dirinya ke dunia yang berbeda, dunia di mana sihir dan
keajaiban hidup berdampingan.
“Di dunia baru ini, Putri Shani bertemu dengan banyak
makhluk ajaib, seperti peri, elf, dan naga kecil yang ramah. Mereka semua
memperingatkan Putri Shani tentang seorang penyihir jahat bernama Zarkon yang
mengancam kedamaian dunia mereka. Zarkon memikiki kekuatan untuk mengendalikan
makhluk lain dan membuat mereka melakukan hal-hal buruk.
“Putri Shani tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk
membantu teman-teman barunya. Dibantu teman barunya, Gracia dan Feni dari
kelompok penyihir baik, ia memutuskan untuk mencari cara mengalahkan Zarkon.
Dalam perjalanan mereka, Shani menemukan bahwa hanya hati yang penuh kasih
sayang dan keberanian murni yang bisa menghancurkan kekuatan jahat Zarkon.
“Setelah melalui banyak rintangan dan tantangan, Putri
Shani, Gracia, dan Feni akhirnya menghadapi Zarkon. Dengan cinta yang tulus dan
keberanian yang kuat, mereka berhasil mematahkan sihir jahat Zarkon dan
mengembalikan kedamaian di dunia ajaib itu. Para makhluk ajaib bersorak gembira
dan berterima kasih kepada mereka bertiga, yang dengan ketulusan hatinya telah
menyelamatkan mereka.
“Putri Shani pun kembali ke kerajaannya, membawa serta
pelajaran berharga bahwa cinta dan keberanian bisa mengalahkan segala bentuk
kejahatan. Ia hidup bahagia, dikelilingi oleh cinta dari rakyatnya dan
teman-teman barunya dari dunia ajaib.”
Indah menutup buku itu dengan lembut, menatap Marsha dan
Kathrina yang mendengarkan dengan mata berbinar.
“Kenapa Putri Shani begitu berani, Mama?” Marsha
bertanya, walaupun sudah tidak bisa manahan kantuk.
“Karena dalam hidup ini, keberanian dan kasih sayang
adalah kekuatan terbesar yang kita miliki. Mereka bisa membantu kita menghadapi
segala tantangan.” Indah mengusap kepala kedua putrinya bergantian.
Marsha dan Kathrina perlahan-lahan terlelap, terbuai
dalam mimpi tentang dunia ajaib dan petualangan yang penuh keajaiban. Di dalam
hati mereka, dongeng tentang Putri Shani menjadi sebuah pelajaran yang
berharga. Sementara itu, Indah menatap kedua putrinya yang tertidur dengan
damai.
Indah menghela nafas. Tersenyum. Setetes air mata
mengalir di pipinya.
***
Keesokan harinya, sinar mentari menyapu kamar Marsha dan
Kathrina dengan lembut, menembus celah tirai tipis yang bergoyang pelan. Suara
burung berkicau pelan riang di luar jendela, seolah-olah dunia masih begitu
damai. Marsha membuka matanya, mengucek-ngucek sebentar, lalu memandang adiknya
yang masih terlelap. Ia tersenyum, mencubit pipi Kathrina.
“Bangun, Tin,” bisiknya lembut.
Kathrina mengerjap-ngerjap.
“Pagi,
kak.” Jawabnya sambil menguap.
Di
dapur, Indah sedang menyiapkan sarapan. Aroma roti panggang dan telur goreng
memenuhi udara, membuat perut mereka yang kecil-kecil mulai bernyanyi. Indah
tersenyum melihat kedua putrinya yang berlari ke meja makan dengan semangat.
“Selamat
pagi, anak-anak,” sapanya dengan senyum yang selalu menenangkan.
“Selamat
pagi, Mama!” Balas mereka serempak, dengan tawa yang riang mengiringi.
Mereka
duduk di meja makan, menikmati sarapan sederhana tapi penuh cinta. Indah
melihat kedua putrinya dengan tatapan penuh kasih, tetapi ada sesuatu yang
bergejolak dalam hatinya. Kenangan-kenangan samar kembali menghantui sejak
semalam, saat ia menceritakan dongeng tentang Putri Shani dan Zarkon.
Setelah
sarapan, Marsha dan Kathrina bermain di halaman, sementara Indah membersihkan
dapur. Ia akan pergi berkebun setelah semuanya selesai. Saat Indah sedang
membawa piring untuk dicuci, tiba-tiba, ia merasa pusing yang amat sangat.
TRANG!!
Piring
terjatuh, pecah, berhamburan di lantai. Indah memegang meja agar dirinya tidak
terjatuh. Bayangan masa lalu menyeruak, membawanya kembali ke ingatan tentang
hari-hari bersama suaminya di hutan, saat mereka bertemu dengan sosok tinggi
berjubah hitam dengan mata yang bersinar merah, hingga saat Indah mendapati
dirinya sedang memegang sebuah pisau, di depannya ada mayat suaminya yang
tergeletak tidak bernyawa.
“INI
TIDAK MUNGKIN! Aku tidak membunuhnya.” Indah berteriak kencang sambil memegangi
kepalanya. Namun, tidak ada satupun yang mendengar, anak-anak terlalu asyik
bermain diluar.
Di
halaman, Marsha dan Kathrina sedang bermain petak umpet, tertawa dan berlari ke
sana-kemari tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam rumah. Mereka berlari
mengitari halaman, menikmati kebebasan pagi itu.
Indah,
yang merasa bahwa anak-anaknya sedang dalam bahaya, bergegas keluar rumah,
mencari kedua anaknya. Tetapi sebelum dia memanggil mereka, sebuah kekuatan tak
terlihat mengendalikan dirinya, membuatnya berjalan menuju jalan setapak yang
mengarah ke hutan belakang rumah mereka.
“Marsha!
Kathrina!” Indah berseru sekuat tenaga, suara penuh kegelisahan, tetapi
suaranya terendam oleh angin yang tiba-tiba berhembus kencang. Ia terus
berjalan, seluruh badannya digerakkan oleh sesuatu yang sangat kuat. Ketika ia
mencapai tepi hutan, sosok tinggi dengan jubah hitam dan mata merah menyala
muncul di hadapannya.
“Zarkon!”
Indah mendesis.
“Ah,
akhirnya aku bisa mengendalikanmu,” Zarkon terkekeh, suara yang dalam dan
mengancam. “Terimakasih karna telah menjadikan tubuhnya sebagai tempat untukku
memulihkan diri. Sebentar lagi kekuatanku akan kembali sepenuhnya. Tidak ada
lagi Putri Shani di dunia ini.”
Indah
berdiri tegak, meski ketakutan menyelimuti hatinya. “Apa yang kau inginkan
dariku?”
Zarkon
tersenyum jahat. “Tentu saja Aegis Of Eternity yang ada di dalam dirimu itu.
Aku akan membawamu, mengambil kekuatan itu dengan paksa. Tapi jika kau tetap
bersikeras untuk melawan, maka akan ada sesuatu yang terjadi pada kedua
putrimu.”
“Tidak!
Jangan sakiti mereka! Mereka hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa.” Indah
berseru. Ia mulai menangis. “Bawalah aku denganmu, aku bersedia melayanimu,
tapi jangan sakiti anak-anakku. Aku mohon.”
Indah
menatap Zarkon dengan mata yang basah. Ia tahu bahwa dirinya akan dikendalikan
sepenuhnya oleh Zarkon. Tapi demi kedua putrinya, ia tidak ada pilihan lain. Ia
lebih menyayangi mereka dibanding dirinya sendiri.
Di
halaman, Marsha dan Kathtrina tidak menyadari apa yang terjadi, terus bermain
dengan riang. Mereka tertawa dan berlari, memetik bunga, dan menikmati pagi
yang cerah tanpa sedikitpun firasat tentang bahaya yang mengancam mama mereka.
Ketika
hari mulai menjelang sore, Marsha dan Kathrina masuk ke dalam rumah, mencari
mama mereka. Namun, rumah itu sepi.
“Mama?
Mama di mana?” Marsha memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban.
Kathrina
memegang tangan kakaknya dengan perasaan cemas. “Di mana mama, kak?”
Marsha
mencoba menenangkan adiknya, tetapi hatinya sendiri dipenuhi kecemasan. Mereka
mencari ke rumah-rumah di sekitar, tetapi Indah tidak ada di mana pun. Saat
malam tiba, mereka hanya bisa berpegangan satu sama lain, menangis dalam
ketakutan dan kebingungan.
Komentar
Posting Komentar