La Llorona



Angin malam merayap di antara rerimbun pohon zaitun, membawa serta harum air sungai yang sejuk dan gemetar. Di tepi Sungai Guadalquivir, dekat kota tua Córdoba, tinggal seorang perempuan tua bernama Doña Clara. Rumahnya sederhana, berdinding batu kapur dan beratapkan genteng merah yang telah ditumbuhi lumut. Ia tinggal sendirian, ditemani seekor kucing hitam tua bernama Sombra, dan rak-rak penuh buku tua yang menampung kisah-kisah yang tak pernah benar-benar mati.

Clara tidak banyak bicara. Ia lebih senang duduk di teras rumahnya sambil menatap sungai, mengunyah masa lalu dengan pandangan kosong. Namun, sesekali, anak-anak desa datang untuk mendengarkan cerita. Mereka duduk di tanah, membawa kacang sangrai atau roti keras dari dapur mereka sendiri, dan meminta Clara untuk menceritakan ulang kisah La Llorona—Perempuan yang Menangis.

"Perempuan itu tidak berasal dari Meksiko saja," ujar Clara suatu malam, suaranya parau, seperti buluh tua ditiup angin. "Sebelum sampai ke tanah Amerika, dia sudah lama berkeliaran di sungai-sungai Spanyol. Bahkan sebelum kata ‘pengkhianatan’ bisa ditulis dengan pena."

Anak-anak kecil mendekat, mata mereka membesar.

"Apakah dia benar-benar ada, Señora?" tanya seorang bocah lelaki bernama Mateo, berusia tak lebih dari delapan tahun.

Clara tidak langsung menjawab. Ia menatap langit yang mulai gelap, lalu berkata, "Dulu, jauh sebelum tanah ini dipenuhi nyanyian flamenco dan doa di gereja, ada seorang gadis bernama Ysabel. Ia tinggal di desa kecil yang kini sudah tenggelam, tak jauh dari sini. Cantik, seperti mawar putih yang belum sempat disentuh tangan manusia. Tapi hatinya... hatinya adalah sungai yang bergejolak."

Clara menyesap angin sejenak, seolah merasakan kembali rasa getir di ujung lidahnya.

"Ysabel jatuh cinta pada seorang pemuda bangsawan. Namanya Don Esteban. Ia datang dari Sevilla, tampan dan penuh pesona, dengan kata-kata yang lembut seperti anggur manis. Tapi ia bukan lelaki yang tahu bagaimana cara tinggal."

Clara memejamkan mata, dan waktu pun seolah meluncur mundur.

Córdoba, tahun 1607

Ysabel berdiri di tepi sungai. Gaunnya yang putih terjuntai hingga menyentuh air. Ia sedang menunggu, seperti malam-malam sebelumnya. Esteban berjanji akan datang. Ia selalu datang. Tapi malam ini berbeda.

Bulan bersembunyi di balik awan. Angin membawa suara asing: jeritan, tangisan, atau mungkin hanya gema angin yang menipu.

Ysabel menunggu hingga kakinya membeku. Tapi Esteban tak muncul. Keesokan harinya, ia mendengar kabar bahwa sang bangsawan telah kembali ke Sevilla—menikahi seorang wanita bangsawan lain, demi status dan harta.

Ysabel patah. Tidak hanya hatinya, tapi jiwanya ikut pecah, seperti kaca yang jatuh di lantai gereja. Ia menangis, tidak hanya sehari atau seminggu, tetapi berbulan-bulan. Tangisannya bergema di lembah dan menyatu dengan aliran sungai. Penduduk desa mendengarnya setiap malam. Kadang seperti tangisan anak kecil, kadang seperti jeritan seorang ibu yang kehilangan bayinya.

Dan ketika hujan datang di musim gugur, Ysabel tak lagi terlihat di rumah kecilnya. Ia menghilang begitu saja.

Hanya satu hal yang tertinggal: sepasang sepatu putih di tepi sungai, dan sehelai kain gaun yang tersangkut di dahan pohon yang kini tumbuh bengkok menghadap ke air.

"Beberapa orang mengatakan, ia menenggelamkan anak-anaknya sendiri karena ingin membalas dunia," Clara berkata, membuka kembali matanya. "Tapi kalian tahu? Ysabel bahkan tidak pernah memiliki anak. Ia sendiri adalah anak terakhir dari garis keturunan yang punah. Tidak ada yang perlu dibalas, tidak ada yang bisa dikubur... kecuali rasa sakit itu sendiri."

Sombra mengeong pelan, seolah menegur Clara agar berhenti. Tapi Clara hanya tertawa getir.

"Namun rasa sakit yang tidak dikubur, anak-anakku... akan menjadi hantu."

Anak-anak menelan ludah. Langit telah benar-benar gelap. Bintang-bintang menggigil di angkasa, dan suara air sungai mengalun seperti ratapan.

"Kalian tahu mengapa aku tetap tinggal di sini, di tepi sungai ini?" Clara bertanya.

Mateo menggeleng, pelan.

"Karena aku pernah melihatnya. La Llorona. Bukan cerita, bukan bayang-bayang. Ia berdiri di air, gaunnya menjuntai seperti kelambu pengantin, rambutnya panjang dan menutupi wajahnya. Ia tidak melihatku... tapi aku bisa merasakan dinginnya menembus tulang."

Salah satu gadis kecil mulai menangis pelan. Yang lain mencoba menenangkannya, tapi tatapan mereka pun ketakutan.

"Aku tidak ingin menakut-nakuti kalian. Tapi kalian harus tahu, sungai ini menyimpan kesedihan yang panjang. Dan kesedihan itu bukan untuk ditertawakan."

Clara berdiri perlahan, badannya gemetar. Ia memandang jauh ke arah air yang menghitam.

"Setiap kali ada orang yang berjalan sendirian di malam hari... kadang mereka mendengar suara perempuan menangis. Mencari. Memanggil nama-nama yang telah hilang ditelan waktu. Tapi bukan anak-anak yang ia cari. Bukan kekasih. Ia mencari dirinya sendiri."

Hening sejenak. Hanya suara jangkrik dan desir sungai yang terdengar.

"Dan jika kalian mendengar suara itu..." Clara menatap mereka satu per satu, "...jangan pernah menjawabnya. Jangan pernah menoleh ke suara itu. Karena ia bukan memanggilmu. Ia sedang mencarimu untuk menggantikan kehampaan yang tidak bisa ia isi."

Malam itu, anak-anak pulang dengan langkah tergesa. Tidak satu pun dari mereka bicara. Bahkan Mateo, si paling cerewet, diam seribu bahasa. Mata mereka masih terbayang-bayang gaun putih dan suara tangis dari air yang tak bisa dipadamkan.

Sementara itu, Clara duduk kembali di kursinya. Sombra melompat ke pangkuannya, dan angin meniupkan aroma jeruk pahit dari kebun yang jauh.

Ia memejamkan mata, dan berbisik sendiri.

"Maafkan aku, Ysabel... Aku masih menyimpanmu dalam cerita. Tapi tidak pernah cukup berani untuk menenggelamkanmu bersama waktu."

Dan malam pun kembali tenggelam, diiringi ratap pelan yang mengalir pelan bersama Sungai Guadalquivir.

Komentar