Namaku Reina. Dan aku percaya, beberapa kenangan memilih untuk tetap hidup dalam diam, sampai akhirnya kau berani menatapnya kembali.
Aku kembali ke rumah masa kecilku setelah lima belas tahun pergi. Rumah itu tak pernah benar-benar kosong. Di sana, setiap dinding masih menyimpan jejak langkah kecilku, setiap lantai berderit seolah mengingat saat aku berlari-lari mengejar bayangan masa lalu.
Ibu sudah tiada. Ia pergi dua minggu lalu karena serangan jantung. Rumah ini adalah warisan terakhirnya. Sebenarnya, aku sempat ragu untuk datang, tapi rasa bersalah menguatkan langkahku. Dulu, aku pergi tanpa pamit. Aku dan Ibu bertengkar hebat sebelum aku kuliah. Tentang hal-hal sepele yang akhinya berubah menjadi jurang penyesalan.
Rumah ini masih seperti dulu. Ruang tamu dengan kursi kayu cokelat tua. Rak buku yang penuh dengan novel usang. Dan lorong panjang menuju kamar belakang. Yang dulu tak pernah boleh aku dekati.
Di ujung lorong itu, ada satu ruangan yang selalu terkunci. Ibu hanya bilang bahwa ruangan itu adalah tempat lukisan ayah disimpan. Dulu, Ayah adalah seorang pelukis hebat yang meninggal saat umurku belum genap delapan tahun. Kenanganku tentangnya buram, Tapi yang aku tahu, ibu tidak pernah membiarkanku mendatangi ruangan itu sejak kematian Ayah.
Namun kali ini, aku punya kunci. Dan aku punya hak untuk tahu.
Dengan tangan gemetar, aku membuka pintu itu.
Ruangan itu gelap. Bau debu dan cat kering menyeruak. Tapi cahaya matahari menyelinap dari sela jendela tua, menyoroti satu lukisan besar yang disandarkan di dinding.
Lukisan itu... menggambarkan aku.
Aku kecil, mengenakan gaun biru muda. Berdiri di taman, tertawa, dan di sebelahku... seorang anak laki-laki, menggenggam tanganku.
Jantungku berdetak lebih cepat.
Aku tak pernah ingat punya teman seperti itu.
Ada puluhan lukisan lainnya. Semua menggambarkan aku, dari bayi hingga umur tujuh tahun. Dan selalu ada anak laki-laki itu. Wajahnya samar, tapi selalu hadir. Berdiri di sisiku. Duduk di sampingku. Terkadang, memegang tanganku. Tapi tak sekalipun aku mengingat dia.
Aku berjongkok, mencari-cari di antara tumpukan barang. Di bawah meja, aku menemukan sebuah kotak kayu. Di dalamnya ada surat. Tanpa pikir panjang, aku segera membuka surat itu.
Untuk Reina,
Jika suatu hari kamu membaca surat ini, artinya Ibu sudah tiada. Maaf karena telah merahasiakan semuanya. Anak laki-laki dalam lukisan itu bernama Reyhan. Dia adalah kakakmu. Saudara kembarmu. Tapi dia pergi ketika kalian berumur tujuh tahun. Tenggelam di danau belakang rumah saat kalian sedang bermain. Setelah itu, kau trauma berat dan dokter menyarankan agar kita menghapus sebagian kenangan itu demi keselamatanmu. Ayah, sebelum meninggal, terus melukis Reyhan karena dia takut kamu benar-benar melupakannya. Tapi, kamu memang melupakannya. Dan Ibu pun membiarkannya begitu. Maaf, karena telah membungkam cerita tentang Reyhan selama ini.
Tangisku pecah.
Seketika, semuanya perlahan kembali. Tawa di taman. Balon merah yang kami kejar bersama. Dan teriakan sore itu. Air. Danau. Tanganku tak cukup kuat untuk menariknya.
Aku hanya berdiri di tepi dan menangis.
Dan aku dipaksa melupakan semua itu.
Tapi kini, semua ingatan itu kembali. Dan itu memang benar-benar menyakitkan.
Tapi mungkin... itu satu-satunya cara agar aku memaafkan diriku sendiri.
Aku memandangi lukisan itu sekali lagi. Semua wajah kini terlihat jelas.
Reyhan tersenyum.
Dan aku membalasnya.
#cerpen #cerpenindonesia
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus