Senandung di Tengah Gerimis

   


    Hujan turun sejak siang, dan suara rintiknya mengisi ruang tamu kecil di rumah Bu Lila. Di atas meja bundar yang sudah mulai menguning warnanya, ada dua cangkir teh jahe yang masih mengepul. Aroma kayu manis dari dapur perlahan bercampur dengan bau tanah basah dari luar.

    Di seberangnya, duduk seorang pemuda bernama Rendra. Tangan kanannya memegang cangkir, tapi sejak tadi tak disentuhnya. Matanya terus menatap jendela yang dipenuhi embun. Di luar, daun jambu bergetar pelan karena terpaan air, dan seekor burung kecil berteduh di bawah celah atap.

    “Kenapa kamu pulang, Ren?” Bu Lila bertanya lembut. Suaranya tidak menuntut, hanya ingin tahu.

    Rendra mengangkat bahu. “Capek, Bu.”

    “Kerja di Jakarta?”

    “Iya.”

    “Kamu nggak bilang-bilang mau datang.”

    “Aku juga nggak niat datang, Bu. Tapi entah kenapa, tadi pagi aku naik bus... dan tiba-tiba saja turun di terminal kampung.”

    Bu Lila tersenyum kecil. Ia mengaduk tehnya pelan, “Kadang tubuh tahu ke mana dia mau pulang, meski otak nggak bilang apa-apa.”

    Mereka diam sejenak. Hujan makin deras. Di luar, suara anak-anak berlari-lari kecil masih terdengar, berteriak-teriak sambil menantang air hujan. Rendra memperhatikan mereka dari balik kaca, lalu menghela napas.

    “Aku dipecat, Bu.” Rendra menghela napas.

    Bu Lila tak menunjukkan keterkejutan. Hanya menaruh sendoknya perlahan, dan mengalihkan pandangan ke arah anak-anak di luar.

    “Kadang hidup itu aneh, ya. Saat hidup kita rasanya mulai jelas, semuanya malah dibalik.”

    Rendra mengangguk. “Aku kira aku sudah tahu mau jadi apa, Bu. Tapi sekarang... kosong.”

    Bu Lila bangkit, berjalan ke lemari kecil, lalu kembali sambil membawa sebuah buku catatan usang. Ia meletakkannya di meja, di depan Rendra.

    “Kamu tahu ini?”

    Rendra tersenyum samar. “Buku lagu waktu kecil?”

    “Iya. Kamu suka nyanyi, kan?”

    “Suka, dulu.”

    “Kenapa berhenti?”

    Rendra menatap buku itu sejenak. Ia membuka lembar pertamanya—tulisan tangan kecilnya masih bisa dibaca, meski sebagian sudah luntur. Di sana ada lirik lagu yang dulu sering dinyanyikannya saat gerimis turun seperti sekarang.

    “Aku berhenti karena aku pikir itu cuma mimpi masa kecil.”

    Bu Lila menatapnya lama. “Rendra, kamu boleh gagal jadi apa pun yang orang lain pikir kamu harus jadi. Tapi jangan pernah berhenti jadi dirimu sendiri.”

    Hujan mulai mereda.

    Rendra menutup buku itu perlahan. Di luar, langit masih kelabu, tapi sudah tak segelap tadi. Ia berdiri, berjalan ke luar rumah, lalu berdiri di bawah langit yang masih meneteskan rintik-rintik kecil. Tangannya terangkat ke atas, seolah ingin menyentuh air.

    Dan entah bagaimana, dari bibirnya keluar senandung lama.

    Lagu masa kecilnya.

    Pelan. Ragu-ragu. Tapi nyata.

    Bu Lila mendengarnya dari dalam. Ia tak berkata apa-apa, hanya tersenyum dan membiarkan pintu terbuka.

    Kadang, untuk kembali menjadi utuh, manusia hanya perlu satu hal sederhana, diizinkan untuk menjadi dirinya sendiri.

Komentar