Mananaggal: Urban Legend Asal Filipina

     Langit bulan Maret menggantung rendah di atas desa San Isidro. Udara malam menyimpan panas yang tidak wajar, seperti rahasia yang ditahan terlalu lama. Di antara ladang tebu dan pohon pisang yang gemetar pelan diterpa angin laut, berdirilah sebuah rumah kayu tua berlantai dua, tempat tinggal Isabela yang sedang mengandung tujuh bulan.

    Isabela adalah pendatang. Suaminya, Romulo, bekerja di kota. Ia tinggal sendiri. Warga desa memperingatkannya—jangan pernah tidur dengan jendela terbuka, jangan pernah biarkan cahaya keluar saat malam bulan terang, dan selalu simpan bawang putih di kusen rumah. Tapi Isabela hanya tersenyum, mengira semua itu tak lebih dari warisan ketakutan nenek moyang.

    Malam itu, Isabela tidak tidur. Bayinya menendang. Terlalu sering. Terlalu keras. Ia berjalan bolak-balik di lantai kayu yang berderit, mencoba menenangkan dirinya dengan menyalakan radio tua yang bergema pelan. Lalu tiba-tiba...

    "Krik... krik... krik..."

    Suara itu datang dari atap. Bukan seperti tikus. Bukan seperti kucing.

    Lebih berat. Lebih... basah.

    Suara seretan sesuatu yang bergesek di seng berlumut.

    Isabela menatap langit-langit. Tidak ada apa-apa.

    Lalu...

    "KRRRAAKK!"

    Sesuatu jatuh dari langit-langit dapur. Tapi saat ia tiba di sana... hanya ada jendela terbuka dan tirai yang mengayun pelan, seperti seseorang — atau sesuatu — baru saja keluar.

    Ia menutup jendela. Menguncinya. Mematikan radio. Lalu kembali ke kamar.
Namun, malam itu, ia tidak tahu: separuh dari sesuatu sedang menunggu di atap.

    Keesokan harinya, tetangga bernama Aling Pina datang membawa daun pandan dan cabai merah.
Ia menatap perut Isabela dan berkata tanpa senyum:

    “Kalau kau dengar suara bersayap malam-malam, jangan keluar. Jangan pernah. Itu bukan burung.”

    Isabela mengangguk, tapi dalam hatinya hanya geli.

    Di pikirannya, semua ini hanyalah ketakutan yang dikarang oleh kesepian.

    Malam berikutnya, suara itu datang lagi.

    Flap... flap... flap...

    Bukan burung.

    Sayapnya besar, seperti kelelawar. Tapi... terlalu pelan. Terlalu terarah.

    Isabela berbaring di tempat tidur. Matanya terbuka, jantungnya berdetak lebih cepat dari detik jam di meja. Di luar, suara itu berputar mengelilingi rumah.

    Flap... Flap... Flap...

    Lalu...

    Diam.

    Isabela duduk.

    Ia mendengar napas di luar jendela kamarnya. Tapi jendelanya tertutup rapat. Ia yakin.
Sampai suara itu terdengar:

    "Isaaaabelaaaa..."

    Panggilan itu bukan teriakan. Bukan bisikan. Tapi seperti... dipikirkan ke dalam kepalanya.

    Dan kemudian, suara cakar menggores kaca. 

    Perlahan. Seolah makhluk di luar itu tahu Isabela sedang mendengarkan.

    Pagi harinya, Isabela menemukan daun bawang putih dan cabai merah di halaman rumahnya.

    Ditaruh oleh Aling Pina.

    Tanpa kata.

    Hanya tatapan.

    Ia mulai percaya, walau belum mau mengakuinya.

    Malam ketiga.

    Pukul dua.

    Langit bersih. Bulan bulat penuh. Dan Isabela terbangun dengan tubuh dingin, peluh membasahi kening. Ia mendengar suara berdebum di atap. Lalu sesuatu merangkak ke jendela. Jendela bergetar.

    Kemudian...

    "SRAKK!"

Kaca pecah.

    Cahaya bulan menyorot satu sosok di jendela. Makhluk itu—perempuan separuh badan, sayapnya besar menjuntai dari punggung. Perutnya kosong, mulutnya menganga penuh air liur. Giginya panjang. Lidahnya menjulur, meneteskan cairan asam. Matanya... bukan mata manusia.
Bukan juga binatang.

    Manananggal.

    Isabela memekik, meraih bawang putih dari laci dan melemparkannya. Makhluk itu mengerang, terbang mundur dengan gerakan kaku, lalu melesat ke langit.

    Isabela tidak tidur malam itu. Ia tahu makhluk itu akan kembali. Dan ia tidak akan takut lagi.

    Pagi keempat.

    Ia mencari ke hutan. Ditemani Aling Pina dan dua lelaki desa. Mereka tahu, bila tubuh bawah Manananggal ditinggalkan, maka ia bisa dibunuh. Mereka menemukannya di balik semak-semak. Separuh tubuh manusia, dari pinggang ke bawah. Berdiri diam seperti patung.

    Aling Pina menyiramnya dengan abu, garam, dan perasan jeruk nipis, seperti yang diajarkan.

    Tak lama kemudian—langit mendadak mendung. Petir menyambar. Angin menggila.

    Dan dari langit, jeritan terdengar. Panjang. Penuh kemarahan dan kehilangan.

    Makhluk itu—Manananggal—kehilangan tubuhnya. Ia jatuh, dan terkubur di antara pepohonan, ditelan hutan dan waktu.

    Minggu-minggu berlalu. Perut Isabela semakin besar. Ia tidak lagi mendengar suara sayap, tidak lagi merasa diawasi.

Namun kadang, saat malam terlalu senyap dan udara terlalu panas.... Ia mengira melihat bayangan hitam terbang di kejauhan.

    Dan kadang...

    ...perutnya berdenyut aneh, seperti sesuatu di dalamnya bukan hanya bayi.

Komentar