Malam itu, panggung bersinar lebih terang dari biasanya. Ratusan mata tertuju pada satu sosok yang berdiri di tengah, seorang gadis muda yang mengenakan jubah megah berhiaskan kilau kemuliaan. Di tangannya, sebuah trofi kecil ia angkat tinggi, seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa perjuangan tak pernah sia-sia.
Namanya Feni.
Tidak ada yang tahu betapa keras jalan yang telah ia lalui. Tidak ada yang melihat berapa banyak luka tersembunyi di balik senyum dan tawa yang ia berikan di atas panggung. Semua hanya menyaksikan hasil akhirnya—seorang ratu kecil yang berdiri dengan anggun di bawah gemerlap bintang buatan.
Namun bagi Feni, mahkota di kepalanya bukan sekadar simbol. Itu adalah bukti bahwa ia pernah jatuh, remuk, dan memilih untuk bangkit meski dunia rasanya ingin menjatuhkannya lagi dan lagi.
Ia mengingat malam-malam penuh air mata di balik tirai, langkah-langkah gemetar menuju latihan, suara ragu yang berbisik di telinganya.
"Apa aku cukup baik? Apa aku pantas di sini?"
Namun ia memilih menari di atas keraguan itu, membiarkan keringat dan tekadnya berbicara.
Dan kini, saat gemuruh sorak memenuhi arena, Feni tersenyum.
Bukan karena kemenangan.
Tapi karena perjalanan panjang itu—luka yang perlahan ia ubah menjadi keelokan, keraguan yang ia tempa menjadi harapan.
Dalam bisik hatinya, Feni tahu bahwa, keelokan sejati bukanlah tentang siapa yang tak pernah tersentuh oleh luka, melainkan tentang bagaimana kau memilih berdiri lagi, lebih bercahaya, setiap kali dunia mencoba meruntuhkanmu.
Malam itu, Feni bukan hanya seorang gadis dengan mahkota.
Ia adalah gema dari langkah-langkah berani, seorang penari di antara ragu dan harapan, yang membuktikan bahwa Sundara—keelokan sejati—lahir dari keberanian untuk bertahan.
Dan di matanya yang berkilau, dunia akhirnya melihat.
Ini bukan akhir dari perjalanan.
Tapi ini adalah awal dari legenda baru.
Komentar
Posting Komentar