Larasati

    Langit kota malam itu berwarna kelabu, disapu gerimis tipis yang membasahi trotoar dan jendela-jendela kereta yang melintas. Di peron yang dingin dan sepi, Larasati berdiri sendiri, jemarinya menggenggam erat pegangan tas selempang lusuh yang telah menemaninya bertahun-tahun.

    Suara roda kereta bergemuruh melewati rel, seakan menjadi latar irama yang tak pernah berhenti dalam kehidupannya.

    Hidup memang begitu, pikirnya. Terus melaju, entah kita siap atau tidak.

    Hari ini, Larasati kembali pada titik nol.

    Meninggalkan pekerjaan yang dulu ia banggakan, melepas hubungan yang pernah ia perjuangkan mati-matian, dan menggenggam hanya satu hal yang tersisa—dirinya sendiri.

    Kereta berikutnya akan tiba dalam lima menit, kata papan elektronik di atasnya.

    Tapi tidak ada tempat yang benar-benar ia tuju. Tidak ada rumah untuk pulang. Tidak ada lengan yang menunggu dengan sabar. Hanya langkah-langkah kecil yang ingin menjauh dari masa lalu yang mengaburkan hati.

    Sambil mendongak, Larasati menarik napas dalam.

    Dulu, ia selalu mengejar dunia, berlari secepat mungkin, seolah takut tertinggal. Setiap keberhasilan kecil memberinya euforia sesaat, lalu hampa kembali menghantam tanpa ampun.
Dan luka... selalu ada luka. Luka yang ia pikir akan sembuh dengan kerja keras atau cinta dari orang lain.

    Tapi malam ini, ia mengerti sesuatu.

    Bahwa hidup bukanlah perlombaan, bukan pula tentang menambal luka dengan ambisi. Hidup adalah tentang menemukan irama — irama yang selaras dengan suara hati, bukan suara dunia.

    Kereta datang, pintunya terbuka, mengundang siapa pun yang ingin berani melangkah. Tapi Larasati tetap di tempatnya, membiarkan satu kereta lagi pergi.

    Bukan karena takut, bukan karena menyerah. Tapi karena ia ingin berjalan dengan tenang. Dengan ritme yang ia pilih sendiri.

    Ia duduk di bangku peron yang dingin, merasakan tiap detik bergulir tanpa tergesa. Gerimis membasahi ujung sepatunya, dingin menelusup ke kulit, tapi anehnya ia merasa damai.

    Untuk pertama kalinya, Larasati tidak terburu-buru mengejar apa pun. Ia cukup berada di sini, sepenuhnya hadir dalam dirinya sendiri.

    Dari kejauhan, lampu kereta berikutnya mulai tampak, mendekat perlahan. Kali ini, Larasati tersenyum kecil. Ia tahu, ia akan naik. Bukan untuk melarikan diri, bukan untuk mencari sesuatu yang hilang.

    Tapi untuk melanjutkan perjalanan, dengan langkah yang selaras dengan hati, dengan jiwa yang akhirnya menemukan sebuah irama baru, irama kedamaian.

    Karena Larasati akhirnya memahami—hidup bukan tentang seberapa cepat kau melaju,
tetapi tentang bagaimana kau menari dengan tenang
di antara gelombang dunia dan bisik jiwa.

    Dan malam itu, di stasiun kecil yang sepi, seorang gadis memulai kembali hidupnya, perlahan tapi pasti, mengikuti irama yang ia ciptakan sendiri.

Komentar