Cerpen: Urban Legend asal Venezuela


Langit, di atas Los Llanos, berwarna kelabu tua, seperti lembar surat yang terlalu lama terpapar debu dan hujan. Matahari sudah lama tenggelam, dan hanya sisa warna lemas yang menggantung di cakrawala, gemetar seperti bisikan sebelum tidur.

Di tengah padang itu, Chris berjalan.

Langkahnya berat, seolah tanah di bawah sepatunya menolak dilewati, menahan tubuhnya dalam setiap hembusan angin kering yang membawa aroma asin, bekas peluh dan ketakutan. Ia membawa sebuah lentera minyak kecil di tangan kanan. Cahayanya meringkih, lebih mirip bisikan daripada nyala.

Tiga hari sebelumnya, mereka menemukan mayat Ricardo—tubuhnya koyak, tulangnya berserakan seperti dadu dilempar acak. Di desa, orang-orang berbisik nama yang sudah lama disembunyikan dalam doanya masing-masing. El Silbón.

Hari itu, di rumah kayu reyot peninggalan kakeknya, Chris membuat keputusan: ia akan mengakhiri kutukan itu. Bahkan bila artinya ia sendiri harus menjadi bagian dari tanah kering yang sudah bosan dengan darah manusia.

Malam itu membentang panjang, seperti jalan yang tidak pernah mengenal ujung.

Setiap langkah Chris adalah pertempuran melawan ketakutan yang menggumpal di perutnya, berat seperti timah.

Ia mendengar sesuatu.

Nada.

Tinggi.

Lirih.

Do... Re... Mi... Fa... Sol... La... Si...

Berhenti.

Mengendap.

Mengalun kembali.

Chris tidak bergerak. Tidak berani menarik napas.

Karena ia tahu, jika peluit itu terdengar jauh, maka bahaya sudah bersembunyi di balik pundaknya.

Lentera di tangannya berkedip.

Bayangannya sendiri terpantul di tanah, patah-patah.

Lalu tanah mulai bergetar ringan, seperti dada seseorang yang menahan isak tangis.

Dengan perlahan—sangat perlahan—Chris mengeluarkan kantung kecil dari sakunya. Di dalamnya, rempah-rempah kering dan darah hewan yang disiapkan pendeta desa, konon untuk melemahkan roh yang terkutuk.

Ia membungkuk perlahan, menaburkan isi kantung itu ke tanah, membentuk lingkaran kasar. Lentera digantungkan di cabang kayu kecil yang ditancapkannya tadi siang.

Semua itu berlangsung sangat lama, seperti waktu itu sendiri menahan napas, menunggu sesuatu yang lebih buruk daripada kematian biasa.

Suara peluit kembali terdengar.

Lebih dekat sekarang.

Nada-nada itu melengking pelan, seperti jari-jari menari di tulang rusuk. Di kejauhan, Chris melihat sesuatu. Bayangan tinggi, kurus, terlalu tinggi untuk ukuran manusia. Bahu merosot, kantung besar tergantung di punggungnya, seperti karung berisi peringatan.

El Silbón.

Ia datang tidak berlari.

Tidak berteriak.

Hanya berjalan.

Pelan.

Setiap langkahnya seperti mengukir kematian di udara.

Chris menahan napas. Ia menggenggam belati kecil yang diselipkan di pinggangnya—belati yang diolesi ramuan pendeta. Konon, hanya dengan melukai roh itu dengan belati ini, El Silbón akan terjebak di antara dunia dan dihancurkan oleh kutukannya sendiri.

Tapi untuk menusuknya, Chris harus menunggu.

Menunggu hingga El Silbón menapaki lingkaran itu.

Dan El Silbón melangkah.

Satu kaki... berat... menyeret ketakutan dari tanah.

Langkah kedua... udara bergeming, seperti mendengar nafas pertama seorang bayi... atau isak terakhir seorang pembunuh.

Langkah ketiga... Lingkaran retak pelan, seolah tanah itu sendiri ketakutan.

Chris bisa mencium bau El Silbón—bukan hanya bau tanah basah atau kulit busuk—tapi bau sesuatu yang lebih tua daripada dosa manusia. Bau yang membuat setiap akar pohon ingin menarik dirinya ke dalam bumi.

Lalu, tepat ketika makhluk itu berada di dalam lingkaran—Chris melompat.

Pelan.

Tertatih.

Seolah-olah tubuhnya bergerak di dalam mimpi buruk.

Ia menghunjamkan belati ke sisi makhluk itu.

Sekali.

Suara jeritan memenuhi padang.

Jeritan yang bukan suara makhluk hidup. Jeritan yang menusuk awan, memecahkan bintang, mematahkan setiap dahan. Jeritan itu membangunkan semua roh pendendam yang pernah tidur di bawah tanah.

Chris terlempar ke belakang.

Lentera padam.

Gelap menelan segalanya.

Ia terbangun berjam-jam kemudian. Mungkin hari, mungkin minggu. Ia tidak tahu.

Yang ia tahu, padang itu kini senyap.

Tidak ada peluit.

Tidak ada bayangan.

Tidak ada tulang berserakan.

Dan kantung kecil yang dulu dibawa El Silbón, kini kosong. Tulang-tulang itu... Chris memandang ke sekelilingnya.

Ia tidak menemukan apa-apa, kecuali satu bayangan baru yang mengikuti langkahnya.

Bayangan tinggi.

Kurus.

Dengan sebuah kantung kosong menggantung di bahunya sendiri.

Mungkin, pikir Chris dengan pelan, sambil berjalan lagi ke arah cakrawala yang kosong, kutukan itu tidak pernah bisa dihancurkan. Hanya dipindahkan.

Dan ia berjalan.

Terus berjalan.

Malam demi malam.

Peluit kecil terdengar dari bibirnya sendiri, tanpa ia sadari.

Do... Re... Mi... Fa... Sol... La... Si...

Komentar